Banyak yang bilang kalau takut jatuh cinta itu karena kebiasaan kita yang sulit percaya dengan orang lain, atau bahkan karena trauma.
Berawal dari seorang teman yang bercerita bahwa dia takut jatuh cinta dengan lawan jenis, dan merasa tidak enak karena selalu menolak orang yang mendekatinya.
Hal itu membuat dirinya menjadi self-blame dan mengkhawatirkan dirinya tidak bisa menemukan pasangan sampai kapan pun.
Selanjutnya dia juga bertanya-tanya,
Mengapa ada orang yang begitu mudah jatuh cinta, sementara yang lain justru merasa takut jatuh cinta dan memulai hubungan?
Tentu saja pertanyaan tersebut muncul karena dia melihat teman sebayanya banyak yang sudah memulai bahkan menikmati hubungan percintaan.
Ketika aku bertanya lebih lanjut, dia akhirnya bisa menyebutkan alasan mengapa dia takut memulai hubungan.
Dan alasannya adalah, trauma masa kecil.
Banyak artikel yang aku baca dan beberapa buku yang mungkin bisa jadi refrensi yang dapat menyimpulkan bahwa pengalaman masa kecil itu punya peran dalam cara seseorang memandang cinta dan hubungan.
Kenapa Takut Jatuh Cinta?
Mungkin diantara kamu ada yang memiliki teman seumuran yang dimana ia merasa takut atau bahkan enggan merasakan jatuh cinta dan memiliki hubungan.
Dan mungkin kita akan berprasangka bahwa alasannya adalah karena memang dia enggan untuk memiliki hubungan.
Takut jatuh cinta itu banyak penyebabnya, tapi salah satunya yang ingin aku bahas disini adalah soal trauma masa kecil.
Secara psikologis, terbentuknya kita saat ini, cara kita memandang dunia, cara kita bertahan hidup, cara kita belajar, semua itu adalah hasil dari pengalaman masa kecil kita.
Contoh sederhana adalah ketika kita menilai seseorang yang dimana masing-masing dari kita akan memiliki pola pikir dan penilaian berbeda terhadap orang tersebut.
Perbedaan tersebut adalah hasil dari pengalaman masa kecil kita yang berbeda-beda. Mungkin kita dididik dengan cara yang berbeda oleh orang tua kita.
Sama halnya dengan memandang cinta atau hubungan.
Seseorang akan bisa mudah jatuh cinta, dan memahami perasaan cinta karena pengalaman masa kecilnya yang diberi penuh kasih sayang dan cinta oleh kedua orang tuanya.
Berbeda dengan seseorang yang masa kecilnya tidak mendapatkan kasih sayang dan cinta dari kedua orang tuanya.
Trauma Masa Kecil
Ketika masih kecil temanku yang bercerita ini tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya.
Ia ditinggalkan ayahnya saat masih bersekolah dasar. Bahkan ia melihat sendiri ayahnya berselingkuh dengan wanita lain.
Secara psikologis, masa kecil itu adalah sebuah periode kritis dalam perkembangan otak, dimana kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi berada dalam puncaknya.
Dampaknya, pengalaman yang diberikan anak akan membentuk koneksi saraf yang kuat dan membangun pola berpikir yang terbawa hingga dewasa.
Teori Attachment yang dijelaskan oleh seorang psikiater dan psikoanalis Inggris John Bowlby, bahwa hubungan anak dengan pengasuh utamanya (biasanya orang tua) membentuk pola attachment (keterikatan emosional) yang akan memengaruhi hubungan interpersonal di masa depan.
Jika anak tumbuh di lingkungan penuh kasih sayang, ia akan memiliki secure attachment sehingga memiliki percaya diri yang tinggi dan mudah membangun hubungan sehat.
Sebaliknya, seorang anak yang mengalami penelantaran dan trauma, ia bisa jadi akan memiliki insecure attachment yang membuatnya cemas, takut kehilangan, dan sulit percaya pada orang lain saat dewasa.
Untuk tambahan, menurut penelitian dari Journal of Family Psychology, menyebutkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan konflik tinggi lebih mungkin mengalami kecemasan dalam hubungan romantis mereka di masa dewasa.
Baca Juga: Melangkah Keluar dari Lingkaran Trauma
Tanda-tanda Trauma yang Mempengaruhi Kehidupan
Sayangnya, tidak banyak orang atau para remaja menyadari bahwa ia mungkin memiliki trauma masa kecil.
Akibatnya mereka hanya akan menyalahkan diri sendiri atas apa yang menimpanya saat ini yaitu kesulitan dalam mencari pasangan.
Padahal sebenarnya jika kita mencari tahu atau mungkin bercerita kepada seseorang bahkan meminta saran dari seorang profesional, kita bisa saja secara sadar menyebutkan tanda-tandanya.
- Menghindari Komitmen: perasaan takut terjebak dalam hubungan yang salah secara berlebihan.
- Merasa Tidak Pernah Cocok: selalu mencari dan menemukan alasan untuk tidak mempertahankan hubungan.
- Turst Issue: perasaan tidak percaya dan menganggap semua orang akan mengecewakan seperti pengalaman sebelumnya.
- Overthinking: perasaan selalu takut pasangan akan menghianati dan pergi.
Mengatasi Ketakutan untuk Jatuh Cinta
Kita mungkin akan bisa merasa baik-baik untuk saat ini jika kita tidak memiliki pasangan.
Tapi mungkin di masa depan kita akan khawatir jika kita tidak bisa menjalin hubungan dengan orang lain.
Jika ingin mengatasi luka ini, ya maka kita harus menyembuhkannya.
Apa yang bisa kamu lakukan adalah dengan menyadari pola yang terbentuk dari masa lalu. Kenali pengalaman masa lalu yang membentuk diri kita yang sekarang.
Bangun self-awareness dan mindfulness. Melatih diri untuk membedakan mana ketakutan masa lalu dan mana yang merupakan realitas saat ini.
Cobalah untuk membuka diri. Tidak harus langsung memiliki hubungan spesial, tapi memberikan kesempatan untuk mengenal orang baru tanpa ekspektasi buruk.
Mintalah bantuan professional. Terapi atau journaling bisa membantu kita untuk mengenali ketakutan yang kita alami.
Cinta itu Proses, Bukan Paksaan
Sebagai pesan penutup, yang bisa aku katakan adalah:
Ketakutan itu adalah hal yang wajar, apalagi soal cinta dan perasaan. Tapi bukan berarti kita harus terus menghindarinya.
Cinta yang sehat itu datang dari tempat yang bukan dari ketakutan, tapi tempat yang penuh penerimaan.
“Just because something hurt you in the past doesn’t mean it’s going to hurt you forever.”